
Data dari tangkapan layar kanal YouTube Berita Satu. Dok. pribadi
Setiap tahun 1.000 orang WNI pindah Kewarganegaraan Singapura. Begitu kurang lebih bunyi berita sore ini.
“Itulah realita dan hal biasa terjadi di beberapa negara. Kita tidak bisa melarang dan tidak perlu dipersoalkan,” begitu kurang lebih kata narasumber di tv, seperti ingin menyudahi kehebohan, entah dimana.
“Justru kita memandang hal itu cukup baik, warga kita bisa ‘menguasai’ Singapura. Kita gak perlu khawatir kehabisan orang-orang pintar yang akan membangun negeri ini,” kata narasumber yang lain.
“Itu bukan berarti saya menyuruh generasi kita untuk pindah ke negeri orang loh, bukan!” katanya buru-buru meralat.
Sementara yang lain mengatakan, orang yang pindah itu karena ada sesuatu di sana yang sangat mendesak atau penting baginya. Bisa juga mungkin lebih nyaman bagi dia dan mungkin keluarganya. Mereka bisa berkembang dan mungkin lebih bermanfaat dibanding jika berada di negerinya sendiri.
“Ini kesempatan bagi kita yang ada di sini untuk memperbaiki negeri ini menjadi lebih baik. Negeri kita saat ini juga sudah masuk kelompok negara menengah, kan?” sambung yang lain.
Bagi yang pernah merasa berjasa, merasa pernah mengajari mereka ketika belajar di Indonesia, dia pun tidak terima dan merasa berhak protes.
“Wah, gimana dong, sudah diajari di sini susah-susah, eh, sekalinya ilmunya dipakai buat membangun negeri orang lain,” sergahnya.
“Mereka gak punya jiwa nasionalis! Cuman uang saja yang mereka cari! Dasar oportunis!” nyinyir yang lainnya.
Ya, siapa saja bebas memilih. Mau menjadi WNA Singapura atau hanya mengambil Permanent Residence dan tetap menjadi WNI. Silakan saja. Semua ada alasannya masing-masing. Inilah enaknya negara demokrasi.
Terlepas dari kontroversi itu, saya jadi ingat pesan Prof. Rhenald Kasali di beberapa kesempatan, yang ditujukan kepada orang tua untuk membentuk karakter anak.
“Ada suatu metode yang orang tua bisa lakukan. Berikan kesempatan anak-anak untuk merantau,” kata Prof. Rhenald di podcast-nya Grace Tahir.
Bisa juga merantau karena sekolah atau karena pekerjaan. “Jadi kalau anak itu selalu di bawah ketiak orang tuanya, dia akan sangat manja,” tutur Prof. Rhenald.
Terus terang, ketika belum menikah, saya juga pergi sendiri merantau ke luar pulau, jauh dari orang tua dan sanak saudara.
Saat itu, saya pergi seperti seolah tanpa beban. Pergi begitu saja dilepas kedua orang tua dan saudara-saudara saya di depan pagar rumah.
“Gak disangoni?” sayup-sayup saya mendengar suara kakak ketika saya berjalan keluar pintu pagar. Seketika saya memperlambat langkah kaki, berharap dipanggil kembali dan akan diberi sangu.
“Gak. Wis duwe sangu dewe,” kata Ibu saya, datar.
Makjegagik! Kedua mata saya terbelalak! Saya tetap berjalan tegak seolah tak mendengarnya, dengan wajah menghadap ke depan, tanpa menoleh ke belakang. Kedua langkah kaki ini kupercepat meninggalkan rumah menuju Pelabuhan Tanjung Perak!
Kala itu, seingat saya, saya hanya membawa uang di dompet tidak kurang dari 500 ribu. Tidak punya kartu ATM atau rekening bank manapun. Artinya, ya itulah uang satu-satunya!
Hanya membawa baju-baju dan sebuah arloji merk Seiko Kinetic lawas, bekal dari almarhum Bapak. Arloji itu pun hilang setiba di Kalimantan. Padahal, sempat ditawar orang 400 ribu. Tega sekali orang yang mencurinya di dalam tas saya.
Itulah pengalaman saya merantau. Jangan kau olok-olok wahai Netizen ya hehe…

Sekarang, tidak terasa anak-anak sudah beranjak dewasa. Si sulung sedang belajar merantau di Jawa, meski kurang satu tahun ini sudah tiga kali pulang pergi, naik pesawat pula xixixi… Sedangkan si bungsu sedang persiapan.
“Sama. Harus ke Jawa juga lah. Biar gak merasa dibeda-bedain,” kata Ibunya, seolah ingin si bungsu juga merantau jauh. Padahal, dia sempat cerita di rumah nanti akan ditemani simbul dan simui, dua ekor kucing kesayangannya, jika anak-anak pada merantau.
Saya merasakan, inilah rasanya berat menjadi orang tua ketika harus mengikuti saran Prof. Rhenald agar memberi kesempatan anak-anak untuk merantau. Ternyata tidak mudah.
“Tapi kan itu untuk masa depannya,” kata kakak ipar saya, suatu ketika menghibur kami. Ya, semua anaknya merantau. Kakak adik S1-S2 di Turki, dan si bungsu sedang mondok di Jawa.
Mungkin, baru saat ini saya menyadari mengapa kala itu Ibu tidak memberi uang sangu sepeserpun ketika saya pergi merantau. Bisa jadi, perasaan Ibu sama seperti yang saat ini saya rasakan sebagai orang tua, berat hati, tapi demi anak-anak itu sendiri.
Lebaran kemarin, ada iklan perguruan tinggi swasta di Yogyakarta yang dipasang di St. Gubeng Surabaya. Isi iklan itu unik, bisa dibaca dengan lagu “Jalan Pulang”-nya Yura Yunita: Kuliah yang Jauh, Jangan Lupa Pulang.
Semoga lancar sukses barokah. Aamiin