Pagi ini pikiran saya agak terusik ketika sedang melakukan presensi sidik jari, kemudian pandangan saya mengarah pada kalender meja di belakang kaca loket dekat mesin sidik jari. Katanya, Hijrah itu Tenang.
Hm… betulkah hijrah itu tenang. Apa memang iya?
Saya kemudian mencari di Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, lalu memasukkan kata ‘hijrah’. Menurut kamus, hijrah ada tiga keterangan.
- (n/nomina/kata benda) perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah
- (v/verba/kata kerja) berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya): dia — ke Jepang untuk melanjutkan pendidikannya
- (n/nomina/kata kerja) perubahan (sikap, tingkah laku, dan sebagainya) ke arah yang lebih baik
Kemudian, saya memasukkan kata ‘tenang‘, diperoleh juga tiga keterangan sebagai berikut.
- (a/adjektifa/kata sifat) kelihatan diam tidak bergerak-gerak atau tidak berombak (tentang air, laut): sungai ini — airnya; seketika itu laut pun —
- (a/adjektifa/kata sifat) diam tidak berubah-ubah (diam tidak bergerak-gerak)
- (a/adjektifa/kata sifat) tidak gelisah: tidak rusuh; tidak kacau; tidak ribut; aman dan tenteram (tentang perasaan hati, keadaan): sekalian melihatnya dengan —
Dari dua hasil pencarian arti dua kata tersebut, hijrah dan tenang, tampak jelas sekali keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Jika kata hijrah berbentuk subyek, dan kata ‘tenang’ berbentuk obyek, maka keduanya akan memiliki hubungan jika ada predikat berbentuk kata kerja di antara keduanya.
Misal, kalimat ‘Hijrah itu tenang’ diperjelas menjadi ‘Hijrah membuat tenang’. Kalimat ini masih belum lengkap, karena akan menimbulkan pertanyaan. Siapa yang tenang? Apa yang tenang?
Semua arti kata ‘tenang’ dalam kamus tersebut merupakan kata sifat (adjektifa). Kata sifat disebut menerangkan kuantitas dan kualitas dari kelompok kelas kata benda atau kata ganti. Oleh karena itu, kalimat ‘Hijrah membuat tenang’ akan lebih lengkap jika ditambahkan kelompok kata benda seperti menjadi ‘Hijrah membuat hati tenang‘.
Kenyataan atau fakta yang ada, ternyata banyak dijumpai artis yang telah menyatakan dirinya hijrah, malah membuat hatinya gundah gulana, gelisah. Ada banyak pergulatan batin dan pertentangan dalam diri mereka yang justru membuat mereka memutuskan kembali kepada asalnya semula. Artinya, bisa jadi orang yang betul-betul hijrah membuat hatinya tenang, namun ada juga yang membuat hatinya tidak tenang.
Meski demikian, adanya fakta — orang yang gagal ujian hijrah — itu bukan berarti meniadakan pesan hijrah yang sesungguhnya. Islam justru memerintahkan untuk hijrah, dalam arti perubahan sikap, tingkah laku, dan sebagainya ke arah yang lebih baik.
Muru bil ma’ruf wanhau ‘anil munkar. Serulah pada kebaikan dan cegahlah dari kemungkaran. Perintah ini diyakini umat Islam apabila betul-betul dikerjakan hanya mengharap Allah semata dengan sepenuh hati, maka akan membuat hati tenang. [QS. Al Taubah [9]: 26]. Dan faktanya, memang demikian.
Begini. Saya tidak mempermasalahkan kata atau kalimat dalam iklan atau pesan komersial tersebut selama pembacanya memiliki pemahaman yang baik dan bijak mengambil sikap. Mau saya permasalahkan pun, toh iklan atau pesan-pesan — sederhana tapi membutuhkan penjelasan tidak sederhana itu — di zaman sekarang ini telah berkembang pesat dan meluas sangat cepat. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah kemampuan dan keahlian untuk mencerna berbagai informasi dengan cerdas dan bijak.
Iklan-iklan itu memang dibuat untuk kepentingan komersial dengan berbagai tujuan oleh orang-orang yang memang ahli di bidang penjualan atau marketing. Produk iklan mereka bisa dikatakan tidak ada yang sempurna dari sisi bahasa karena memang hampir tidak ada orang yang serba ahli di semua bidang. Lantaran alasan marketing, menjual, maka bahasa yang ditampilkan pun bukan bahasa baku dan kaku.
Namun, saya merasa khawatir, bisa jadi pesan-pesan iklan sederhana dan memiliki arti yang dalam itu ditelan mentah-mentah oleh orang atau anak-anak yang terlalu mudah percaya terhadap informasi apapun, tanpa bersikap kritis lebih dulu. Pasalnya, sebagai seorang pendidik, saya kadang menjumpai apa yang diinformasikan sebuah iklan atau pesan komersial mudah sekali diterima mentah-mentah.
Sebagai gambaran. Suatu ketika seorang siswa menerima informasi mentah-mentah. Saat ujian atau evaluasi terdapat pertanyaan, misal, apa itu hijrah? Siswa ini pun menjawab “hijrah itu tenang”.
Saya bahkan, sejak 8-9 tahun yang lalu, terpapar informasi hoaks dari sebuah iklan minuman yang — diklaim — menyehatkan. Kini, saya merasa sangat amat menyesal. Sebuah pengalaman dan pelajaran yang amat sangat berharga.
Semoga Allah paring manfaat dan barokah. Aamiin.