Zaman sekarang adalah zaman data, zaman digital. Seorang pebisnis sukses mengatakan bahwa sekarang semua tergantung data. Dengan data, pebisnis mampu melihat gambaran masa depan bagaimana perusahaan atau organisasinya kelak. Seperti sebuah ramalan, tapi bisa diprediksi, bisa dikalkulasi, bisa dihitung melalui statistika katanya. Visualisasi data.
Di sekolah atau kuliah, ilmu ini dipelajari lewat mata kuliah yang membahas data mining dan implementasinya. Statistika hanya dasarnya, juga pemrograman.
Omong-omong bicara data, akhir-akhir ini ada beberapa berita yang menyebutkan banyak orang, artis, atau pesohor yang mengalami depresi. Banyak orang tidak menyangka sebelumnya, tidak menduga, kaget. Karena tanda-tandanya sulit dikenali. Ada penderita yang akhirnya melampiaskan lewat obat-obatan terlarang, dan ada yang melakukan bunuh diri. Berita menyebutkan, penderita merasa tertekan, tapi menyembunyikan diri.
Itu adalah sebagian data atau fakta yang saya peroleh, baik pengalaman melihat sendiri maupun memperolehnya dari berbagai sumber. Menurut sebagian sumber, mereka depresi karena banyak ‘tekanan’ di kepalanya. Mungkin lebih tepat, banyak sekali yang dipikirkannya.
Mereka, penderita, menyimpan banyak sekali data, banyak sekali informasi yang dijadikan dasar pengetahuan, pengalaman yang terus dipikirkannya selama ini. Mereka sulit mengubahnya menjadi kebijaksanaan karena keterbatasan dan kemampuan. Mereka menjadi tertekan akibat tidak mampu melepaskan data yang menjadi beban pikirannya.
Dari sumber lain, para peneliti di bidang sains dan teknologi memberi urutan dengan sebutan DIKIW-pyramid. Piramida yang menggambarkan Data, Information, Knowledge, Intelligence, dan Wisdom. Sementara ahli psikologi menyebutkan DIKIW diperoleh sejak anak-anak hingga dewasa.
Seorang konselor mengatakan, pikiran atau perasaan itu penting sekali. Lebih mudah menjaga perasaan anak-anak daripada memperbaiki masa kanak-kanak yang perasaannya terlanjur terluka dan terbawa hingga dewasa. Saat anak telah dewasa akan lebih sulit untuk diredam dan dikendalikan.
Oleh karena itu, pikiran atau perasaan yang berasal dari pengalaman dan pengetahuan yang buruk, tidak bermanfaat dan mengganggu, perlu dilepaskan. Konselor menyarankan, ubah menjadi pelajaran, pengalaman, dan kebijaksanaan. Mencegah lebih baik daripada mengobati.
Bagaimana caranya?
Buku karangan Richard Carlson ini sangat saya sarankan untuk Anda yang sulit tidak memusingkan hal-hal kecil, hal-hal receh dan ambyar yang mengganggu hidup. Ada banyak wawasan yang ia tulis di sini.
Menurutnya, kadang orang bereaksi berlebihan, meledak di luar kendali, ngotot, dan selalu memandang hidup dari sisi negatif. Bila terpaku pada hal-hal kecil, pernah terluka di masa lalu, diabaikan, tidak dihiraukan, dan mudah tersinggung, maka menurut Carlson, jika bereaksi berlebihan malah akan membuatnya frustrasi dan terjebak menuntut hal yang amat sangat diinginkan. Jika ini terjadi, maka orang tersebut akan kehilangan wawasan yang lebih besar, terperangkap pandangan negatif, dan mengabaikan orang lain yang ingin membantu mengatasi masalah.
Menurut Carlson, banyak orang terlihat sibuk, berusaha memecahkan masalah, tetapi kenyataannya malah memperbesar masalah. Menganggap semua hal sebagai masalah besar, dan menghabiskan hidup dari satu drama ke drama yang lain. Banyak yang tidak tahu cara menghadapi masalah erat sekali hubungannya dengan seberapa cepat dan efisien memecahkan masalah tersebut.
Carlson berharap, dengan buku ini, kita belajar bereaksi terhadap persoalan hidup dengan lebih santai. Masalah yang kelihatannya “tidak dapat diatasi” lambat laun akan lebih mudah dikelola. Bahkan, menurutnya, hal-hal yang membuat stres berat tak lagi akan membebani pikiran.
Selanjutnya, terserah Anda. Buku ini akan tetap ada di rak toko buku, di rak Google Books, rak koleksi buku kita, atau menjadi pelajaran dan wawasan yang berharga untuk diri dan keluarga kita.
Semoga manfaat dan barokah. Aamiin.