“Kosong iki Mbak?” tanyaku ke seorang penumpang wanita, cantik, duduk di pojok baris paling depan bis Damri sebelah kiri pak Sopir.
“Kosong,” jawabnya ramah dan mempersilakan sy duduk di sebelahnya. Dia mengenakan topi yang sengaja dibalik, dan kedua kakinya ditekuk naik di atas kursinya sehingga lututnya menutup di dada.
“Rantau ta, ngendi?” tanyaku basa-basi dengan logat Surabaya. Dia kemudian menyelonjorkan kakinya dan meletakkannya di atas dashboard bis dengan santai, sambil melepaskan nafas, hesshh…
Tampaknya dia ingin rileks, mulai membuka diri dan menunjukkan kakinya yang jenjang. Dia juga tampak tidak canggung memperlihatkan bagian jeans belel-nya yang seksi, tampak sobek-sobek di bagian paha dan lututnya, sehingga sedikit tampak kulit pahanya.
Katanya, dia dari Bandung, akan mudik menuju Jember. “Hah, Bandung? Bandung kok rantau…” goda sy. Dia terpancing dan suaranya mulai agak meninggi. “Lah, iya kan jauh dari orang tua…” katanya.
Dari sinilah keakraban itu dimulai. Seperti dua orang teman yang sudah saling kenal sejak lama. Meski hanya menjawab singkat dengan logat yang sama, mengalir begitu saja.
Dia tampak semakin rileks. Kakinya ditekuk, diselonjorkan lagi, ditekuk lagi, diselonjorkan lagi, seolah dia sengaja ingin menarik perhatian sy. Katanya, di Bandung dia bekerja, bukan kuliah, setiap bulan pulang. Katanya lagi, ada bandara di Jember, tapi kecil, blablabla… Dia sudah nyaman bercerita.
“Wis rabi?” tanya saya. “Durung,” balasnya ringan. Dia menjawab apapun yang sy tanya. Sampai soal status lajang pun, dia dengan enteng menjawab dan mengaku belum menikah.
Seketika hening. Sy khawatir bila pertanyaan sy lanjutkan, itu akan membuatnya tidak nyaman. “Kapan lulus? Kerja dimana? Sudah punya pacar? Kapan nikah?” Itu diantara daftar pertanyaan kritis para jomblo, yang membuat jantungnya berdegub kencang pas Lebaran. Saya kemudian mengalihkan perhatian pada arah jalan dan usaha pak Sopir mengendalikan bis.
Tampaknya, itu pertanyaan sy yang terakhir ke dia, tanpa pernah tahu nama dan nomor Whatsapp-nya. Sy tidak ingin, meski dia menjawab enteng, tapi sebenarnya dia ingin meninju sy dengan tendangan maut kakinya yang jenjang itu, plak!
“Pak, mudhun nang ngarep pintu gerbang yo…” kataku ke bapak sopir.
“Nggeh…” jawab pak sopir ramah. Wah, sy jadi merasa segan karena bapak sopirnya menjawab dengan bahasa yang halus, bahasa krama.
Begitu turun persis di depan pos Security perusahaan rokok nasional, sy langsung disapa, “Mudik ya?” tanya seorang bapak petugas Security.
Obrolan dari bis Damri bersama seorang gadis, kini berlanjut bersama petugas di pos Security. “Wah, dari Kalimantan? Enak ya, gajinya besar!” katanya. Dia langsung cerita tentang dirinya yang begini begitu, hingga cerita suka duka karirnya selama menjadi petugas Security.
Dia mengatakan bahwa dia suka outsourcing, setiap tahun diperpanjang, sudah berjalan delapan tahun, dan dia juga bercerita tentang suka dukanya membantu pengamanan lingkungan sekitarnya.
Saking banyaknya dia bercerita, sampai-sampai sy tidak lagi memperhatikan dia dengan serius karena sibuk memencet aplikasi Gojek, dan menerima telpon abang Gojek.
“Pak, saya sudah di halte, kok gak ada… dimana?” tanya abang Gojek lewat telpon genggam. Segera sy menyusul dan pamit pak Security. Dan, berterima kasih atas cerita panjang dia.
Belakangan sy baru tahu, abang Gojek tidak berani menjemput penumpang selain di halte karena ada perjanjian dengan ojek konvensional.
Kereta Jayabaya,
Surabaya – Malang, 26/6/2017