“Awakmu lek ate budhal ngomongo, engko tak terno…”
“Okay, siip!”
Itu adalah akhir obrolan sy dengan seorang teman, sebut saja Soni, ketika sampai di depan Stasiun Pasar Turi Surabaya pukul 11 malam.
Usai bertamu di rumahnya, dia mengantar sy ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan naik kereta api menuju kota Malang. Dia juga menawarkan diri untuk mengantarkan sy kembali ke Bandar Udara Juanda esok harinya.
Soni, adalah teman main sejak kelas satu SMP. Orang Surabaya bilang ‘cs kentel’. Sy terpisah dengannya kira-kira 24 tahun yll usai lulus SMA, dan baru bertemu kembali ketika anaknya sudah masuk SMA, sudah beranjak dewasa.
Perjalanan sy ke Malang kali ini sebenarnya juga termasuk mudik atau pulang kampung, yakni silaturahim. Sy pernah tinggal di Malang selama kurang dari enam tahun dalam rangka ‘thalabul ilmi’. Jejak-jejak berupa catatan dan foto saat itu, kini tersimpan rapi. Tak heran, pengaruh perkembangan dan perubahan diri sy hingga saat ini, sedikit banyak berasal dari kota ini.
Selain silaturahim, sy ingin memanfaatkan momentum liburan ini untuk ‘walking alone’, jalan-jalan sendiri mencari pengalaman baru, dan berharap semoga mendapat ilham yang baik.
Nah, ketika baru sampai di Stasiun Pasar Turi, check-in, kemudian duduk menunggu kereta berangkat itulah sy merasa sangat menyesal. Sy sangat menyesal memakai sandal selop, tidak memakai sepatu dan kaos kaki.
Loh, ada apa? Ada nyamuk. Ya, Surabaya itu nyamuknya terasa banyak sekali. Begitu masuk halaman stasiun usai check-in dan duduk di emperan, nyamuk-nyamuk langsung menghampiri sy menawarkan ‘jajanan’ gratis di bagian kaki, dengan rasa yang sama sekali berbeda dari biasanya. Clekat clekit gatal, tabok, plak! Lalu garuk-garuk.
Suasana stasiun di hari Lebaran saat itu tidak begitu banyak calon penumpang. Mereka datang sangat tertib, tidak berebut masuk. Calon penumpang hilir mudik datang silih berganti, baik diantar mobil pribadi ataupun taxi.
“Eh, keliru, Jayabaya nanti, ini yang ke Jakarta,” kata petugas Security yang memeriksa tiket kereta sy. Ya, sy hampir salah masuk kereta, padahal ikut antre yang gak begitu panjang.
Ketika giliran masuk ‘boarding’, tak banyak penumpang yang terlihat. Kereta Jayabaya yang baru datang itu menurunkan penumpang, kemudian naik penumpang yang lain.
“Itu dari Jakarta, transit Pasar Turi, lanjut ke Malang,” kata seorang teman.
Sy tak kesulitan mencari gerbong dan tempat duduk. Begitu naik, langsung ketemu tempat duduk kosong yang ditandai nomor dan tulisan ‘Internet Reservation’. Hanya beberapa kursi dengan tulisan ini. Sy baru ingat, ketika booking tiket di Traveloka, ada pilihan tempat duduk yang bisa dipilih sendiri. Hanya beberapa yang tampak kosong. Lebih banyak kursi yang sudah tidak bisa dipilih lagi.
Tak banyak cerita ketika sudah duduk di dalam gerbong. Banyak penumpang terlihat lelah, duduk, lalu tertidur. Petugas kereta datang memeriksa tiket masing-masing penumpang ketika kereta sudah jalan menuju Stasiun Gubeng.
Sy sendiri sudah niat untuk tidak tidur. Secangkir kopi dari bertamu di kediaman Soni tadi, masih terasa kuat efeknya. Maklum, itulah kopi pertama yang sy minum setelah absen ngopi selama bulan Puasa.
Selama tidak tidur, sy pergunakan untuk menulis catatan perjalanan. Syukur, di setiap tempat duduk sudah tersedia dua buah colokan listrik. Keren banget. Cocok untuk orang yang tidak memiliki ‘power bank’ seperti sy. Sy lebih suka membawa baterei cadangan, tinggal ganti saja, ringkas.
Kereta terus melaju, dari stasiun satu menuju stasiun berikutnya. Tak terasa, kereta akan tiba di sebuah stasiun. Terdengar sayup-sayup informasi, sepertinya akan tiba di Malang.
“Malang, Mas?” sy membangunkan teman duduk di depan. “Ini Lawang,” katanya ganti memberitahu sy sambil menengok jendela. Betul. Ada tulisan Lawang. Hampir saja sy turun.
Jarak antara Lawang dan Malang sebenarnya cukup jauh
Tapi dengan kereta, menjadi terasa dekat. Tak begitu lama, tibalah di Stasiun Malang. Sepertinya, semua penumpang turun hingga semua gerbong tampak kosong.
Jam tangan menunjukkan pukul 4 pagi waktu Balikpapan. Ini berarti masih pukul 3 waktu Malang. Masih ada waktu satu jam menunggu waktu Subuh.
Sy kemudian menunggu di dalam stasiun, tidak langsung keluar. Ternyata, banyak anak muda yang masih menunggu di dalam stasiun. Malahan, ada serombongan muda-mudi yang, sepertinya akan ‘camping’, menggelar tikar dan tidur di dalam stasiun. Petugas membolehkan menunggu di bagian ruang tunggu kedatangan saja.
Maklum. Jika malam seperti ini, di dalam stasiun tampaknya cukup nyaman dan terasa lebih aman daripada di luar. Ruang tunggu dipisah, untuk perokok dan non perokok. Kamar mandi umum juga cukup bersih dan luas. Air cukup banyak tersedia. Cakep lah. Jadi pingin mandi, tapi airnya cukup dingin.
15 menit sebelum Subuh, sy keluar stasiun mencari masjid besar. Yang sy ingat adalah masjid Kauman. Sy tanya petugas parkir stasiun dimana masjid besar terdekat. Dia hanya menunjuk arah ke Tugu Malang terus belok kiri. Ada masjid dekat stasiun, kira-kira 600 meter. Tapi sy putuskan jalan ke Masjid Agung Jami’ Malang. Kata Google Maps, jaraknya 950 meter saja.
Di pagi buta itu sy jalan kaki menyusuri pedestrian di jalan Kertanegara. Ada banyak kursi taman, bagus, terbuat dari besi yang kakinya seperti dibaut atau dipaku menancap tanah, tak bisa dipindahkan. Kursi yang disediakan sejak tahun 2015 ini, sempat ngetren di medsos usai dipakai sepasang muda-mudi berbuat tidak sopan. Hmm…
Suasana jalanan masih gelap. Tugu Malang yang indah itu pun gelap, tak bisa dinikmati. Sy lewati pagar besar yang tertulis Kantor Wali Kota Malang. Kemudian masuk jalan di sampingnya, yakni di jalan Simpang Mojopahit, terus lewat sebuah jembatan yang tinggi, dibawahnya ada rumah-rumah, sampai perempatan ada gereja, terus hingga terlihat menara masjid dan terdengar suara salawat tarhim Syaikh Mahmoud Khalil al-Husary yang terkenal itu.
Masuk pelataran masjid, sy mencari tempat wudhu laki-laki. Sebelum masuk, sy melihat suasana disana. Jamaah laki-laki banyak yang sudah berumur. Baju gamis putih dan kupluk putih sangat mendominasi, sehingga seolah-olah tak ada yang tak mengenakan baju putih, kecuali sy sendiri yang berkaos sweater biru, lengan gelap, tanpa krah, bercelana abu-abu lusuh, topi krem, dan membawa tas ransel. Mirip orang mudik!
Tak heran, sy seperti orang asing. Mungkin karena itulah, ketika sy wudhu, sy merasa ada air yang jatuh dari atas memercik badan dan belakang kepala sy. Sy mendongak ke atas, cuma ada plafon lantai atas masjid. Tak ada yang bocor. Air kembali menyiram sy dari atas. Sy lihat ada seorang pemuda di sebelah, berjarak kira-kira 1-2 kran, yang berwudhu dengan air kran yang menyemprot kakinya sangat keras. Sy berhenti sejenak dan memandangnya. Dia tampak cuek. Crat! Air muncrat dan memantul ke atas dari kakinya, sambil kakinya diayun ke atas. Beuh. Baru kali ini sy lihat orang wudhu seperti itu hehe…
Usai Subuhan, sy nongkrong di depan di tangga masjid. Hari masih tampak gelap. Pingin rebahan di lantai meluruskan badan tapi lantai terasa dingin. Nun di depan sana ada lapangan. Sy mengenalinya. Itu adalah Alun Alun Malang.
Tiba-tiba ada pesan Whatsapp masuk Windows Phone. Sekilas dari Pak Edi Rachmad, tapi tak bisa sy baca isi pesannya karena sedang ‘hang’. Ini mungkin memori sudah penuh dan lama pulihnya ketika layarnya tergesek-gesek di kantong celana. Sy tak berani restart, karena sy tak menemukan colokan listrik untuk menyalakannya. Untuk itu, solusinya adalah mendiamkannya lima hingga sepuluh menit. Setelah itu dia kembali pulih sendiri.
Sembari menunggu hape pulih, sy jalan-jalan mencari colokan listrik ke alun-alun taman Merdeka, nama lain dari Alun Alun Malang. Ternyata asyik. Tak ada pedagang kaki lima yang biasa memenuhi tiap sudut taman di malam hari. Matahari mulai mengintip terang. Orang-orang, baik tua dan muda mulai berdatangan sambil berolah raga.
Sy ambil foto dengan hape Android. Jepret. Sy menikmati alun-alun dengan burung daranya (merpati?) yang jinak. Kemudian duduk dan membuka pesan Pak Edi. Betul. Beliau menanyakan sy.
“Halo Pak Subur di Malang posisi dimana?” tanya Pak Edi.
Saat itulah sy merasa seperti anaknya yang ditanya tentang kabarnya. Padahal setiap pekan juga sering bertemu di tempat kerja. Beliau adalah pimpinan sy. Terhadap bawahannya, beliau memang jagonya Bapak yang ngemong. Sy merasa nyaman jika berdiskusi dengan beliau. Sy tidak canggung dan mengabarkan bahwa sy sedang di alun-alun. Sy menunggu hari sedikit terang untuk melanjutkan perjalanan. (*)