“Ojo clometan!” begitu pesan Ibu ketika sy berpamitan akan pergi ke Malang di malam Lebaran.
“Inggih, Bu…”
Pesannya cukup dua kata, tapi sebenarnya penjelasannya cukup panjang. Itulah Ibu saat ini. Di usianya yang ke 75 tahun, termasuk golongan orang tua sepuh.
Nasehat dan keinginannya pendek-pendek, maksudnya tak banyak bicara. Kadang, pesan tidak secara langsung diucapkan dengan tutur kata, tapi dengan memberi pemisalan. Apa namanya dalam istilah Jawa?
Tidak seperti dulu ketika Ibu masih usia baya. Dulu, sy paling suka jika Ibu ‘mengomel’ panjang, dengan bibir menyungging, lalu kadang ‘nyetot’ atau mencubit kulit dengan tebal, dan sy lolos menghindar, bandel.
Sy jadi ingat tingkah polah Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Jokowi, yang kadang seperti tampak tidak sopan kepada kedua orang tuanya di muka umum. Tapi, baik Pak Jokowi maupun Bu Iriana, tetap menunjukkan kasih sayangnya, tetap sabar, bahkan mengikuti apa yang diinginkan sang anak.
Tingkah polah Kaesang terhadap kedua orang tuanya kurang lebih mirip dengan tingkah polah sy terhadap Ibu sy, seringkali clometan. Tujuannya hanya agar orang tua senang, tertawa, dan awet muda. Manfaatnya, jelas membangun keakraban antara orang tua dengan anak. Tapi itu dulu, di usia sy sebaya dengan usia Kaesang saat ini. Sekarang, usia sy dua kali kurang setahun dari usia Kaesang.
Apa itu clometan?
Ingat obrolan sy dengan seoang gadis di bis Damri? Setelah pertanyaan ‘Wis rabi?’ dan dia menjawab dengan enteng ‘Durung’, maka sy harus melihat apakah dia senang atau tidak dengan pertanyaan itu. Jika sy lanjutkan dengan pertanyaan iseng, maka yang terjadi kurang lebih adalah clometan. Umumnya, seorang gadis jika ditanya seperti itu, jawabannya bukan dengan perkataan, tapi senyum, diam, atau tertunduk malu. Meskipun kini tidak selalu begitu.
Contoh lain clometan kurang lebih seperti cerita ini.
#####
Setelah ganti baju, menyisir rambut, Suti cepat-cepat berangkat ke pasar takut anaknya yang masih tidur itu bangun.
“Mau kemana kok kelihatan buru-buru?”
Suti menoleh. Tetangganya, Parno, yang sedang mengelap sepeda motor di depan rumahnya menyapa dia.
“Ke pasar,” sahut Suti.
“Kok pagi-pagi sekali to?” tanya Parno.
“Mumpung anak-anak masih tidur dengan Bapaknya,” timpal Suti.
“Ibunya sudah bosan tidur kah?” kata Parno sambil senyum-senyum.
Suti diam. Menahan sebel mendengar perkataan Parno.
Obrolan seperti itu sudah biasa terjadi di kampung. Tujuannya iseng, menggoda, padahal tahu ybs tidak pernah senang.
Sumber cerita: Rina Tri Lestari, Clometan, Kompasiana
#####
Pagi itu, usai Subuhan, sy mulai berkemas yang akan balik ke Balikpapan tengah hari.
“Ibu mau ke pasar beli ketupat, ikut apa tunggu di rumah?” kata Ibu pada sy.
“Ikut Ibu…”
Tak banyak bicara. Sy bergegas ambil sandal dan mengikuti Ibu. Sy tahu, ini adalah jalan-jalan pertama Ibu ke pasar sejak pulih dari sakit seminggu sebelumnya.
Baru beberapa langkah jalan, Ibu berhenti di depan rumah tetangga dan menyapa. Selesai, lanjut berjalan dan belum jauh, Ibu berhenti lagi dan menyapa tetangga. Terus jalan, berhenti lagi dan menyapa tetangga dan salaman sesama ibu-ibu.
Nah, sampai di pojok kampung, Ibu melihat orang tua yang tampaknya depresi, teriak-teriak tidak jelas. Ibu sementara mengabaikannya dan lanjut berjalan ke pasar membeli ketupat, dua buah lepet untuk sy, sayur sop-sopan titipan adik sy, dan kue-kue untuk ngemil di rumah. Kemudian berjalan pulang kembali lewat jalur yang sama.
“Ada apa, Bu?” tanya sy.
“Itu… untuk Bapak itu,” kata Ibu sambil menyiapkan bungkusan lepet untuk orang tua di pojok kampung itu. Ibu kemudian memberikan satu buah lepet untuk orang tua itu.
“Siapa, Bu?” tanyaku pada Ibu.
“Nggak tahu, Ibu nggak kenal, tapi orang itu tinggal disana…” kata Ibu.
Siang itu, sy berangkat ke bandara Juanda dengan membawa satu lepet dan dua buah risoles. “Kanggo sangu…” kata Ibu.
Dalam perjalanan ke bandara sampai saat sy menulis ini, sy menemukan ada banyak makna dari beberapa kata kunci pesan Ibu tanpa harus diucapkan dengan tutur kata, yakni keinginan Ibu untuk mengajak anak ke suatu tempat, bagaimana usai sembuh dari sakit, menyapa tetangga, silaturahim, berjalan kaki, ke pasar, membeli yang dibutuhkan, sinkron antara yang diucapkan dengan perbuatan, ketupat, lepet, menuruti keinginan baik anak, memperhatikan lingkungan, berbagi lepet, sedekah, dhuafa, transaksi jual beli, dan bisa jadi masih ada banyak hal lain.
Semoga Allah menetapkan pada Ibu rahmat dan hidayahNya sampai akhir hayat. Aamiin. Ya muqollibal quluub tsabbit quluubana ala dinika. Aamiin. Dan, semoga Allah paring Ibu sehat, seger, waras, dan barokah. Aamiin. (*)